HADIAH
ITU NYATA
Hari-hari
menegangkan akan segera berakhir. Benar juga begitu bel berderng
‘tet...tet...tet’ murid yang berseragam putih abu-abu itu berhamburan
bersorak-sorai. Tampak di depan kelas Rony mengambil tasnya. Sebentar kemudian,
Bagas menghampiri, “Apa yang akan kamu lakukan kemudian sobat?” Bagas menepuk
bahu Rony. “Eh, kamu. Tahulah nanti, yang penting ujian telah selesai. Nikmati
dululah...” Rony berujar. “Kalau begitu, aku nitip info ya... sobat. Aku mau
pulang kampung dulu sambil menunggu pengumuman lulus. “Salam buat ibumu. Jangan
lupa dodolnya”, gurau Rony.
Begitulah,
ia melepas sahabatnya itu. Rony sekarang sibuk dengan laptop di kamarnya.
Sesekali, makanan ringan itu menggoyang lidahnya. “Rony... mandi, sarapan!”,
teriak mama. “Lagi nanggung, nih...!”, jawab Rony. Rony masih meneruskan
kesibukannya. Jarinya lincah menyentuh keyboard.
Matanya masih melototi layar. Kali ini, terdengar suara langkah. Kemudian
‘tok...tok...tok’. Ditambah terdengar, “Rony buka pintu”. Suara itu bukan suara
ibu. Pintu langsung terbuka. “Cepat saya tunggu sarapan!”, pinta ayah. Kali ini
Rony tidak bisa melengak. Cepat-cepat disambar handuknya dan mandi. Mama dan
Papa menunggu di meja makan. “Maaf, pa...ma... jadi lama menunggu”, ujar Rony.
“Habiskan makanan itu. Nanti, ikut ke kantor papa”, kata papa. “Ke kantor? Aku
bukan karyawan papa”, jawab Rony. “Sudahlah, nanti kamu tahu”, papa bekata
lagi. “Ayo, sayangku. Biar tahu dunia kerja begitu”, tambah mama. “Aku belum
mau kerja lho...Pa...Ma...”, tukas Rony. “Iya... tidak ada yang suruh kerja,
Cuma main-main”, tambah mama.
Demi
memuaskan Papa Mama, Rony beranjak dari kursi makan menuju mobil. Dalam
perjalanan Rony duduk berdampingan dengan papanya. Tapi mulut ini Cuma membisu.
Tak lama, pintu mobil sudah dibukakan. Ucapan selamat pagi menyapa telinga
Rony. Siapa yang menyapa Rony pun tak tahu. “Besok ini tempatmu”, kata Papa.
Rony tak menghiraukan perkataan itu. Perhatiannya, justru teryuju pada benda
kecil di sakunya. Ternyata, Sahabatnya, Bagus, mengabari untuk mengambil dodol
pesanannya. Ruang AC, mobil mewah ia tinggalkan begitu saja. Justru dengan
angkot, Rony meluncur ke rumah Bagus. “Gus... aku datang!”, teriak Rony. “Eh...
nak Rony. Masuklah, Bagus sedang di kamarnya”, kata ibu Bagus. “Ibu, ikut juga
ke sini?”, tanya Rony. “Kan... katanya sudah mau lulus!”, sahut ibu. Muncullah
Bagus dari kamar. “Bagaimana sobat sudah siap mental untuk esok hari?”, tanya
Bagus. “Aku sih... optimis!”, jawab Rony. “Siplah... aku juga optimis bisa
lulus.” Bagus tak kalah semangat dengan sahabatnya. Senyum mereka menandakan
kebahagiaan bersama.
Keesokan
paginya, Rony dan Bagus bertemu kembali di sekolah. Mereka akan mendapat
selembar kertas sakti yang sangat berpengaruh nantinya dalam kehidupan. Betul,
surat keterangan lulus. Tak lupa orang tua masing-masing juga ikut. “Gus, kamu
dapat hadiah apa dari ibumu?”, tanya papa. “Saya minta disekolahkan saja, Pak”,
jawab Bagus. “Selamat ya... nak”, tambah mama.
Siang
yang ricuh pun berlalu. Kini malam datang menjemput. Makan malam telah disiapkan
Bi Irah. Ada kepala manyun berkuah santan kesukaan Papa. Cumi panggang, ayam
bakar juga tersedia. Untungnya mama masih sempat memasak tempe bacem. Di meja
makan itu pula papa mengutarakan isi hatinya. Papa menyuruh Rony untuk mau
menekuni ilmu manajemen di luar negeri. Alasannya rony anak satu-satunya yang
kelak menjadi pewaris perusahaan papa. Dengan cepat Rony menjawab, “Aku tidak
mau, Papa”. “Sudah lama dibenakku ingin menjadi arsitek!”, jawab Rony. “Ada
benarnya, Ron. Cobalah kamu turuti keinginan papa, kalau kamu menuruti kata
papamu, pasti pintamu akan dituruti pula”, timpal mama.
Dengan
berat hati, Rony menuruti kemauan orang tuanya. Ia turuti kemauan papanya
karena permintaan yang akan diajukan. Untung, ketika Rony di negeri Paman Sam
masih sempat berkomunikasi degan sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Bagus.
Dialah yang memompa semangat Rony dari jauh. Dalam pesanya, Bagus berkata,
“Lakoni saja hidupmu, tidak semua orang seberuntung kamu.”
Empat
tahun sudah Rony menghabiskan waktunya di negri Paman Sam. Kini, Rony tak sabar
ingin meninggalkan landas pacu pesawat. Lima menit lagi hidupnya akan berubah.
Ia berharap tuntutannya terpenuhi setelah permintaan ayah sudah dipenuhinya.
Rony
telah sampai di depan rumahnya. Heran dalam pikirnya karena rumah sepi. Tak ada
acara sambutan. Bel rumah dipencetnya. Muncul pertama Bi Irah, orang yang sejak
kecil mengasuhnya. Bi Irah berteriak, “Nyonya, mas Rony sudah pulang!”. Tak
lama muncullah mama. Tangan halusnya, memeluk Rony. Di pundak Rony menetes air
mata mama. Haru campur bangga perasaan mama. “Papa... papa mana? Hadiahku
mana?”, ujar Rony sepert anak kecil. Tak sabar Rony mencari papa. Terkejutlah
dia. Papa yang dulu gagah ternyata terbaring lemas tak berdaya di tempat tidur.
Lirih ia bicara. Tak lama tangannya diulurkannya, ia memberikan kotak ukir
kepada Rony. Seakan harus segera dibuka, Rony pun tak sabar. Mata Rony
terbelalak, ternyata kotak ukir itu hanya berisi kitab suci. Rony kecewa karena
jerih payahnya, pengorbanannya hanya dibalas dengan kitab suci. Benda murah
yang ia tebus sampai bertahun-tahun. Isi hati Rony hanya beisi kekecewaan
yangmendalam.
Seketika
itu Rony langsung pergi, tak hiraukan Papa Mama. Ia ingin menyenangkan hidupnya
dengan cara sendiri. Rony memang pintar, mengembangkan daya pikirnya. Di kota
seberang, ia telah memiliki usaha penginapan yang besar. Pegawainya sudah
puluhan orang. Dalam sekejap ia lengkapi penginapan dengan restoran mewah dan
kafe yang mewah. Dalam semalam mudah sekali puluhan juta rupiah ia kantongi.
Kini,
Rony bangga dengan keberhasilannya. Kelak ia yakin, akan mengalahkan papanya.
Rony mulai menikmati jerih payahnya. Silau dengan kekayaannya. Ia rambah dunia
malam yang gemerlap. Lupa akan ibadah dan Tuhannya yang telah memberi
segalanya.
Sementara
itu, papa masih berjuang melawan sakitnya. Papa sangat merindukan anak semata
wayangnya. Papa hanya bisa memandangi foto Rony yang terpajang di meja sudut
kecil di samping ranjangnya. Sesekali Bagus justru yang mengunjungi papa. “Nak
Bagus, cobalah kamu hubungi dan cari Rony”, pinta papa. “Akan saya usahakan,
Pak!”, jawab Bagus.
Lewat
sahabatnya pula, Bagus berusaha mencari Rony yang kini jadi pengusaha
penginapan. Pertemuan itu bisa terjadi pula atas kehendak Yang Maha Kuasa.
Tatkala Bagus bertemu dengan Rony, ternyata Rony dalam kondisi mabuk. “Rony,
ingat aku?”, tanya Bagus. “Ingat dong... kamu Bagus anak ingusan itu toh... !”,
jawab Rony. “Kekayaan telah membuat lupa dirimu”, ujar Rony. “Yang penting aku
senang... senang”, kelakar Rony. “Rony, ayahmu sakit keras, pulanglah”, pinta
Bagus. “Peduli amat dengan pembohong itu”, tukas Rony. “Aku akan kembali
setelah kamu sadar.”
Bagus
pulang dengan kecewa, ia hanya bisa mengelus dada melihat tingkah polah
sahabatnya. Bagus hanya bisa bercerita kepada mama Rony.
Sementara
itu, kondisi papa Rony semakin menghawatirkan. Kemarin baru pulang dari rumah
sakit. Tiga hari di rumah, harus kembali dirawat di rumah sakit. Badan papa
kurus mengering, mata cekung, dan nafas yang terengah-engah. Melihat kondisi
papa seperti itu, Bagus berusaha menemui Rony kembali.
Rasa
sayang seperti keluarga sendiri membuat Bagus bersemangat. Ia berdoa semoga
Rony sudah tenang. Fajar baru saja menyingsing, motor tua itu malju ke kota
seberang. Sebelum matahari tepat di atas kepala Bagus sudah bertemu Rony.,
sobat kamu datang lagi”, sapa Rony. “Iya, aku datang karena aku masih sayang
kepadamu”, jawab Bagus. “Apa yang kau minta dariku?”, kata Rony. “Pulanglah,
papamu ingin bertemu. Kondisinya semakin menghawatirkan. Hanya satu nama, anak
tersayang yang selalu disebutnya”, pinta Bagus. “Rasakan pembalasanku
pembohong”, ujar Rony. “Kamu benar-benar keterlaluan Rony”, kata Bagus. Bagus
hendak menampar Rony. “Astagfirullahaladzim”, mulut Bagus masih bisa
beristigfar.
Menjelang
Isya kondisi papa Rony terus menurun. Mama terus menuntun agar mengagungkan
Asma Allah. Terkadang papa sebut nama Rony disela-sela nafas berat. Jerit mama
Rony memeahkan keheningan malam. Papa Rony sudah tenang menghadap Sang Kuasa
tanpa sempat bertemu anak tercinta.
Satu
hari kemudian, entah kabar dari mana. Ataukah tali batin yang masih ada Rony
datang tergopoh-gopoh. Ia ingin pulang karena ingin kembali kepada Mama dan
Papa. Ia kaya tapi tak punya kebahagiaan. Bahkan, sekarang ia menderita tak
punya usaha dan kekayaan lagi. Rony terlambat, sang papa telah dmai dengan
tidur panjangnya. Kini, ia hanya bisa memeluk pusara dan mendatangi tanah merah
itu. Untunglah sang mama masih menerima Rony. “Kesinilah
anakku. Papa berpesan supaya kotak ini tetap diberikan kepadamu”, kata mama.
Kotak itu masih seperti dulu kala berisi kitab suci. Namun, ketika kitab suci
itu dibuka ternyata di dalam kotak itu terdapat kunci. Ya.. betul kunci mobil
mewah dan nota pengambilan di dealer mobil. Rony berteriak, “Aku salah Tuhan”,
“Dia bukan pembohong... Tuhan. Hadiah itu nyata ada, ampuni aku, Tuhan”, teriak
Rony. Begitulah penyesalan selalu datang kemudian.